Menata ulang akuakultur Indonesia, perlukah?
Perlukah menata ulang akuakultur Indonesia? Inilah pertanyaan yang saya coba utarakan seiring dengan kondisi perubahan jaman ini. Saya sempat menulis tentang Konsep Pengembangan Perikanan Budidaya di Indonesia beberapa tahun silam. Dan terus terang, perkembangannya belum memuaskanku. Bahkan setelah sempat memasuki dunia saham selama 3 tahun terakhir, perkembangannya juga seperti berjalan di tempat.
Jika harus flash back ke era tahun 2002, saya masih ingat bagaimana berkiprah dalam MPM, Manajer Pengendali Mutu, terlibat sebagai konseptor dan pembahasan SNI atau Standard Nasional Indonesia dan kemudian mensosialisasikannya. Barangkali, saat ini namanya menjadi GAP, Good Aquaculture Practices versi Indonesia atau IndoGAP. Beberapa SNI tentu saja perlu direvisi dan disesuaikan. Itu tidak boleh tidak, dan ini satu sisi point penting. Termasuk, tentu saja fokus apa yang paling penting harus dimasukkan dalam SNI dan hal penting apa saja yang seyogyanya dimuat dalam SNI agar penerapannya oleh pembudidaya menjadi lebih mudah dilakukan.
Pada era tahun 2003 – 2004, terlibat dalam perancangan terbentuknya jabatan fungsional pengawas. Saya mengawalnya melalui sosialisasi penggunaan induk unggul (kala itu) di dua lokasi di Kabupaten Pandeglang Banten. Sosialisasi penggunaan induk unggul, menurutku jauh lebih penting dari pemberian bantuan benih unggul. Dalam hal apa? Pertama, peningkatan kesadaran masyarakat tentang peran induk unggul. Toh mereka yang akan mengelolanya dalam waktu relatif lama. Peran pemerintah kemudian mengedukasi bagaimana mereka melakuka tata kelola induk dan pembenihan. Jika kemudian pemerintah akan memberikan tambahan insentif berupa pakan mandiri, maka seyogyanya pakan tersebut memang sesuai peruntukannya. Ya, peruntukannya memang untuk induk jenis ikan tertentu. Tentu tidak bisa, satu jenis pakan akan sesuai dengan semua jenis ikan. Kedua, memang tugas pemetintah dalam menyediakan induk unggul. So, tugas ini tidak bisa dialihkan kepada masyarakat pembudidaya. Dalam memproduksi induk unggul, ada banyak kajian dan penerapan ilmu genetika. Ketiga, memudahkan dalam melakukan evaluasi terhadap perubahan kualitas induk di masyarakat. Setelah proses edukasi dan pendampingan, masyarakat penerima bantuan induk unggul tersebut diwajibkan secara berkala untuk melaporkan hasil kegiatan produksi dan kinerja produksinya. Jalinan dua sisi ini akan besar manfaatnya bagi lembaga penghasil induk.
Tahun 2004 lalu, jabatan fungsional pengawas terbentuk. Saya memang tidak terlibat dalam keorganisasian mereka, namun sepertinya keberadaannya sangat berperan terutama dalam mengawal penerapan SNI dan mengevaluasi kualitas kegiatan pembudidayaan (pembenihan dan pembesaran) di masyarakat. Pertanyaannya, apakah tugas dan fungsi jabatan ini masih diterapkan sampai saat ini dan atau masih sesuai untuk era saat ini?
Saya sendiri adalah seorang perekayasa. Saya pun masih mempertanyakan apakah peran perekayasa ini sudah dan masih sesuai peran dan manfaatnya. Jika peran perekayasa hanya melakukan perekayasaan, rasanya relatif mudah untuk dilakukan. Tapi jika dipertanyakan manfaat hasil perekayasaannya, saya yakin akan banyak orang yang akan bereaksi dengan segala bentuk ketersinggungannya. Pertanyaan sederhana saya sebagai perekayasa, apakah hasil perekayasaan kita digunakan dan diterapkan oleh masyarakat atau sekedar untuk tujuan mandapatkan angka kredit atas kegiatan perekayasaan? Inilah pertanyaan saya pribadi kepada saya sendiri sebagai perekayasa, namun mengemuka di tulisan ini. Mengapa pertanyaan ini sampai meletus bak bisul seperti ini? Saya jawab saja, bahwa saya malu jika suatu perekayasaan sampai-sampai tidak diterapkan oleh masyarakat. Bagaimanapun, peran hasil perekayasaan itu layaknya jembatan dari hasil penelitian menuju masyarakat pembudidaya.
Tahun 2005 lalu, saya pun sempat mengisi training of trainer atau TOT kepengawasan. Masih terbayang penyampaian materi 12 jam pelajaran itu hingga kini.Padahal materinya hanya fokus pada manajemen pengawasan. Dan pada tahun ini pula, saya terlibat dalam pelatihan GIS. Anda pasti tahu Geographic Information System. Pelatihan 21 hari itu, kami selesaikan dalam 7 hari saja. Tentu karena semua peserta pelatihan sangat semangat mengikutinya dan ada praktek berbasis komputer di sana. Bayangan saya saat ini, andai semua kegiatan produksi para pembudidaya dan pembenih dapat secara real time masuk ke server dan pada bagian front end data tersebut telah diolah oleh sistem dan disajikan menjadi data komprehensif, tentu akan sangat ideal. Ideal karena secara real time pula data tersaji dan pengguna data akan secara real time pula memanfaatkannya.
Suatu daerah penghasil ikan jenis A, ukuran sekian, tonasenya sekian, harga sekian, jarak dengan pengguna sekian, prakiraan ongkos angkut akan jadi sekian, dan data lainnya akan juga tersaji cepat. Tentu saja, semua informasi suplay ini berlaku juga bagi komoditas ikan lainnya. Lembaga statistik pun akan sangat terbantu untuk mengolah data real time ini untuk menjadi informasi (misalnya) produksi ikan A di suatu daerah tertentu dalam satu bulan, dalam satu semester, dalam satu tahun. Juga data ikan jenis lain termasuk produksi udang, rumput laut, pakan alami dari seluruh Indonesia. Sudah siapkah kita setelah sekian tahun ini? Atau masih berkutat pada kesulitan penjualan yang disampaikan para pembudidaya pascaCovid19 atau inflasi yang menurut pemerintah berkisar 3% padahal riilnya bisa mencapai 10%? Memang masih banyak yang dapat didiskusikan dan diperdebatkan.